Naskah RUU film

•November 3, 2010 • Leave a Comment

Naskah RUU Perfilman Inisiatif DPR RI 2004-2009, Apa Masalahnya?

August 29, 2009 in Artikel | by masyarakatfilmindonesia

RUU Perfilman yang sedang buru-buru disosialisasikan DPR RI saat ini tidak menunjukkan semangat pengembangan industri dan perlindungan pada hak atas pendidikan dan warisan budaya film. Kalau disahkan, berarti kelangsungan film Indonesia dan para pekerjanya dikontrol ketat.

Di bawah ini beberapa contoh pasal-pasal yang bermasalah:

1. Ada pembatasan hak kebebasan berkreasi dengan larangan atas isi film tertentu. (Pasal 6)

2. Semua kegiatan film harus mengutamakan film Indonesia. Aturan bisa membuat industri film Indonesia menghasilkan produk yang kualitasnya tidak kompetitif. Penonton Indonesia dibatasi haknya untuk menonton film-film bermutu dan penting untuk sinema dunia. Ini sama sekali tidak menunjukkan penghargaan untuk keragaman budaya sinema dunia. Tanpa ada aturan seperti ini, secara alami film Indonesia yang kualitasnya baik sudah mulai unggul di pasar domestik dan forum internasional. (Pasal 10)

3. Produser dibatasi haknya untuk menentukan kebutuhan SDM dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan karyanya. ini adalah pemaksaan yang tidak perlu. Aturan ini tidak mendorong peningkatan kualitas SDM perfilman Indonesia untuk menjadi kompetitif. (Pasal 11)

4. Pembuatan film harus didahului pendaftaran judul, isi cerita dan rencana produksi. Ini aturan birokrasi yang tidak perlu! Alasannya supaya Menteri bisa menjaga supaya tidak ada judul film atau isi cerita kembar. (Pasal 18)

5. Festival film dan kegiatan apresiasi film non-profit lainnya tidak boleh dilaksanakan dalam bioskop. Berarti festival-festival atau kegiatan apresiasi lainnya harus mengungsi ke mana? (Pasal 31)

6. Sama sekali tidak menyebutkan kewajiban pemerintah untuk memelihara arsip film/warisan budaya film Indonesia. Padalah persoalan arsip sangat mendesak karena kondisinya menurun sangat cepat kalau tidak diberi perhatian khusus. UNESCO bahkan sudah membuat Konvensi tentang kewajiban negara membantu arsip film. (Pasal 39, Pasal 52-53)

7. Perlindungan hak cipta/hak intelektual pembuat film belum dijamin. (Pasal 48)

8. Pasal-pasal tentang sensor sudah tidak mewajibkan tanda lulus sensor film yang akan diekspor, tidak lagi mengubah karya dengan gunting sensor dan mengutamakan prinsip dialog dengan pembuat film. Mengingat kembali argumen Menteri Jero Wacik di Mahkamah Konstitusi bahwa penonton Indonesia masih kurang memahami film dan karena itu Indonesia masih perlu menerapkan kebijakan sensor, kenapa pasal-pasal tentang LSF tidak mencantumkan kewajiban lembaga sensor untuk memfasilitasi pendidikan penonton? (Pasal 54-61)

9. Pekerja film (di RUU ini disebut ‘insan perfilman’ – Pasal 21) wajib punya sertifikat kompetensi dari organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi. Sementara di Indonesia baru ada 1 sekolah film dan beberapa inisiatif pendidikan non-formal. RUU ini juga tidak menyebutkan bahwa negara menjamin hak pekerja film untuk mendapatkan pendidikan. Bagaimana mungkin pasal ini diterapkan? Mungkinkah ini berarti pekerja film yang tidak pernah sekolah film tidak boleh bekerja lagi? (Pasal 68)

10. Sanksi bagi Pelanggaran, pasal-pasal yang paling seram dalam RUU ini! (Pasal 72-77)

film Nasional

•November 3, 2010 • Leave a Comment

Category:    Other
Apresiasi Film Nasional Bagian dari Upaya Pelestarian Khasanah Budaya Bangsa Indonesia

Film yang baik merupakan media komunikasi, menghubungkan gambaran masa lampau dengan sekarang dan mencerdaskan dan mencerahkan bangsa karena memberikan nilai-nilai keberagaman terkandung didalamnya seperti sarana penerangan atau informasi, pendidikan, pengekspresian seni . Film juga mendiskripsikan watak, harkat, dan martabat budaya bangsa. Sekaligus sebagai memberikan manfaat dan fungsi yang luas bagi bidang ekonomi, sosial dan budaya. Film tidak hanya semata menonjolkan unsur hiburan semata, tetapi lebih kepada tanggung jawab moral untuk mengangkat nilai nasionalisme bangsa dan jati diri bangsa yang berbudaya.

Dengan menambahkan unsur hiburan, artistik, digital teknologi dan kemasan yang menarik apresiasi penonton. Film sekarang ini sudah menjadi komuditas menguntungkan. Tak jarang perusahaan ‘menyentuh’ media ini dalam iklan produk guna mengangkat penjualan.

Naga Bonar (1986) merupakan contoh unik dan mewakili gambaran, bagaimana sebuah nilai atau pesan yang diangkat di kemas dalam bentuk sederhana tanpa memerlukan pemikiran dan diskusi panjang. Cukup dengan seorang kisah bernama Naga Bonar yang mempunyai karakteristik tipikal budaya Medan tetapi mempunyai obsesi kebangaan terhadap diri sebagai panglima jendral besar yang siap kapan saja berjuang demi mengusir penjajah pada waktu itu. Dialog-dialog terkesan unik khas orang batak, penuh humor segar. Memang karakter ini susah untuk dicari pengganti sekelas Dedi Mizwar. Tak pelak lagi sekuel Naga Bonar Jadi Dua pun menjadi tontonan segar dan menarik dengan format modern tetapi tidak kehilangan jati dirinya.

Tak hanya di situ tetapi film juga sebagai penyampai pesan moral, informatif, sejarah maupun solusi atas tema-tema yang berkembang di masyarakat. Di hari jadi sebuah tabloid ibukota yang meliput film terbaik dan terlaris yang menjadi benang merah antara masa lampau dan sekarang, seorang mantan wartawan film berkomentar bahwa film Lewat Djam Malam (1954) karya Asrul Sani sebagai film terbaik dari segi sinematografi maupun sosial karena mengangkat tema korupsi setelah perang revolusi usai. Ini masih relevan dengan kondisi pemerintahan saat ini dalam menumpas pemberantasan korupsi. Terkadang masyarakat mencari jawaban secara jelas lewat film karena lebih hidup dari pada sekedar debat kusir ditambah dengan standar kaidah sinematografi akan menambah kuatnya pesan yang akan disampaikan.

Tetapi yang terpenting dari semua itu bagaimana film bisa dijadikan alat atau media informasi, pendidikan, alternatif gagasan/idea bagi banyak manfaat bagi masyarakat. Setiap sugguhan tayangan berbobot bisa diterima dengan cara pandangan sederhana, setidaknya bisa membawa pandangan baru berupa nilai-nilai tersirat atau hiburan semata. Kasus film yang mengundang pandangan tersebut dari hal isu paling sensitif seperti poligami yang merupakan problematika sekaligus realita sosio-kultural di masyarakat. Nia Dinata berusaha melakukan pendekatan pandangan tentang poligami di Berbagi Suami. Paradigma sisi feminimisme perempuan coba disinggung, Yang pada akhirnya semua tergantung pada penonton mengenai keberpihakan soal poligami tersebut.

Sejarah Merupakan Tranformasi Gagasan

Tentu saja peran dominan dari pemerintahan ini dalam melestarikan dan melembagakan situs-situs sejarah bangsa lewat media visual. Tidak setenggah-setengah dan dukungan penuh para pekerja seni dan masyarakat demi kemajuan film modern Indonesia. Tak pelak lagi apresiasi budaya film akan meningkat dengan program mari mencintai dan menonton film Indonesia yang berkualitas. Sekaligus meluruskan sejarah bukan sejarah para penguasa, tetapi sejarah bangsa yang orisinal

Film nasional adalah budaya warisan. Film juga menggambarkan sisi perjalanan pandangan dengan potret sejarah menurut zamannya. Budaya priayi berbeda dengan budaya pop yang serba “bebas”. Jadi jika ingin melihat kebudayaan suatu bangsa. Tidaklah salah dengan melihat filmnya. Karena film mewakili generasi, konflik sosial, sejarah, budaya, bahkan kekuasan. Bahkan film bisa menggambarkan ekspresi individu atau kolektif atas realita, pandangan, dan seni itu sendiri. Dari alur jalan cerita, peran tokoh karakter, kamera, setting background sampai musik sangat terasa menyatu jika terintegrasi dengan baik, sehingga bisa dinikmati, dipahami, diapresiasi para pemirsa dan penonton.

Warisan itu bernama sejarah. Gagasan kesadaran akan harta karun zaman dulu yang menghubungkan kita sekarang ini lewat media film. Komite Film Dewan Kesenian Jakarta. Pada 7-31 Maret 2007, DKJ mencanangkan Bulan Film Nasional 2007 dan mencoba menyelami kembali sejarah perfilman negeri ini. Karena karya anak bangsa harus berpijak pada landasan sejarah yang benar. Bayangkan film Indonesia tanpa arah dan tujuan yang berlandaskan sejarah, bukan tidak mungkin bercita-cita awal luhur akan hancurnya peradaban film negeri ini. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka merupakan bagian sejarah itu sendiri. Bagaimana presfektif film yang seharusnya dibangun bisa melalui penyimpanan (filing, archiving).

Jadi sebenarnya usaha merekonstruksi bukanlah hal yang tidak mungkin. Bahkan boleh jadi menjadikan asset berharga yang tak ternilai bagi masyarakat. Tentunya dengan pengorbanan biaya pembuatan yang tentunya tidak sedikit dan perlunya orang yang tepat menangani. Asal historis yang terkandung berimbang tidak berat sebelah kesalah satu pihak. Karena sejarah film Indonesia adalah sejarah kekuasaan.

Lihat saja film Gie-nya Mira Lesmana dan Riri Riza, sangat berhasil menghidupkan suasana Jakarta dedake tahun1960 –an. Mulai dari pidato-pidato Presiden Soekarno di radio-radio dan iringan lagu Gendjer-Gendjer secara serius di garap secara professional oleh Art Director. Berhasil membawa imajinasi kita seolah tinggal di tahun tersebut yang sarat dengan pergolakan politik yang terkenal yaitu G30S – PKI. Karya ini bermuatan sejarah yang dikemas dalam balutan cacatan kehidupan seorang aktifis mahasiswa lengkap dengan bumbu romatisme dengan tidak menghilangakan nilai sejarah yang terkandung didalamnya.

Film Band of Brother karya Steven Spielberg dan Tom Hank yang pernah ditayangkan oleh station TV mengangkat kisah PD II dengan sejumlah komentar-komentar pelaku sejarah yang menjadi saksi sejarah pada waktu itu. Adalah merupakan proyek besar dan serius dari para sutradara kenamaan. Mengangkat ke layar lebar sehingga bisa secara utuh menggambarkan kejadian-kejadian secara lebih nyata dan hidup di abad millennium ini. Karya ini sangat monumental sekaligus prestisius untuk ukuran sekelas film Holywood.

Perfilman Indonesia : Sudahkan mendapat tempat di negeri ini? Sudahkah menjadi tuan dinegerinya sendiri ? Kedua pertanyaan tadi nampaknya masih sangat relevan dan signifikan menyangkut catatan sejarah panjang perfilm di Indonesia. Pernah mengalami mati suri.

Tak dapat dipungkiri ini menjadi awal sebuah dinamika kultur masyarakat Indonesia yang disebutkan perfilman bangsa ini telah mati suri selama sebelas tahun. Kebangkitan ini dimulai di tahun 1997 dengan hadirnya film Kuldesak yang dimotori sineas-sineas muda yang menamakan dirinya gerakan Sinema Independent mereka adalah Riri Reza, Mira Lesmana, Nan Achnas, Shanty Harmayn, Rizal Mantovani

Banyak pertanyaan muncul seputar rendahnya ‘spirit’ film Indonesia saat itu dari isi materi, dukungan pemerintah, serta lesunya animo penonton . Terbilang Film-film yang beredar seputar yang berbau horror dan film dewasa Sundel Bolong . Mungkin ini formula paling baku untuk menarik animo penonton. Meskipun faktanya film bergenre horror ini mengalami “reinkarnasi” dari segi metode pembuatan, kamera, animasi, pemain film dewasa ini.

Survey skala rating penonton TV terhadap tayangan-tayangan mistis sempat mengungguli sinentron, walaupun sempat mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat dan pemerintah. Mungkin ini pula yang menjadi alasan masih mewarnai film negeri ini disamping alasan komersil.

Bagaimana tidak persentase film ini tergolong banyak beredar di pasaran dibandingkan film yang mengangkat tema-tema kultur etnis seperti Ca Bau Kan atau film katagori festival yaitu Pasir Berbisik, Opera Jawa atau film-film bertemakan isu yang berkembang di masyarakat.

Walaupun ini tak sepenuhnya benar, bagaimana tidak Petualangan Sherina (1999) mampu menarik dan mencuri hati para penonton. Terbilang film musikal dengan kisah yang mengangkat suatu keluarga yang pindah dari suatu komunitas kota ke desa. Dimana citra budaya kota yang biasa diterima Sherina munaf ( pemeran/tokoh utama ) harus mengalami perubahan dan benturan adaptasi budaya ketika alam berubah di lingkungan pedesaan. Dengan tema yang sangat sederhana dan mudah dicerna oleh semua kalangan, disini Riri Riza sangat berhasil dan patut mendapatkan apresiasi di tengah kelesuan film nasional.

Arsip dan Pelestarian Film

Dimana kita bisa menikmati film-film dulu ?. Masih bisa kita tontonkah film gambar-gambar idoep ? Sebuah film dokumenter pertama yang di putar 5 desember 1900 di Tanah Abang sebelah toko mobil. Berisi tentang peristiwa di Eropa dan Afrika. Dimana film ini dipromosikan oleh harian Bintang Betawi. Tentu sangat sulit, hal ini ditegaskan oleh antropolog berujar bahwa “film Indonesia yang paling tua yang masih bisa ditonton adalah Enam Djam di Djogja (1951, Usmar Ismail).” Keterbatasan dan kurangnya program-program perlindungan nilai sejarah film nasional.

Ini menyangkut sistim dokumentasi, sebenarnya ada wadah yang mengelola bernama Sinematek Indonesia, lahir 20 Oktober 1975 bertempat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta bertujuan menyimpan arsip. Inilah cikal bakal arsip film pertama di Asia tenggara dan telah terdaftar bergabung dengan FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), dan merupakan arsip pertama di Asia yang tergabung dalam asosiasi internasional.

Perawatan film seperti biasa kurang mendapatkan perhatian sehingga kerusakan tak terhindari. Alasan klise, masalah biaya maintainance dan kurang dukungan. Selama waktu itu Sinematek Indonesia masih mendapat dana dari Pemda DKI karena berdirinya bersama di keluarkanya SK guberbur DKI, Ali Sadikin. Setelah masa jabatan berakhir berakhir pula subsidi yang pada akhirnya diteruskan dengan mendirikan yayasan sebagai donatur dengan nominal dan instrument yang serba terbatas. Wajar bila banyak dokumentasi terbengkalai dan mulai rusak. Ungkapan kesedihan Salim Said dalam Pantulan Layar Putih, dimana sebagian film revolusi telah musnah dan hancur. Yang tersisa hanyalah guntingan koran, majalah, sinopsis film-film tersebut. Bahkan film monumental Tjoet Njak Dhien, Pareh, Terang Boelan, Antara Bumi dan Langit, Yang Muda Yang Bercinta, bahkan tidak kita jumpai di tempat itu.

Upaya mencegah kehancuran fatal telah banyak melalui kampanyenya kineforum Menolak Hilang Ingatan, idenya agar masyarakat tidak lupa akan filmnya sendiri dengan menggalang dana bisa lewat konser musik dengan cara yang unik dengan membuat album lagu, dimana diselipkan potongan film-film tempo dulu. Seperti pernyataan dari grup musik white shoes & the couples company yang beranggotakan berbasis IKJ “Album ini sangat, banget, terinspirasi oleh film-film nasional tempo dulu, seperti Tiga Dara, Asrama Dara, dan Ambisi. Di film-film itu, musik dengan film sangat dekat. Album ini kami buat dengan konsep sangat filmis, seperti soundtrack. Ada potongan dialog-dialog film yang dimasukkan (sebagai jembatan antara satu lagu dengan lagu berikutnya),”

Pemberdayaan lembaga atau komunitas bermotif pada pelestarian arsip film-film nasional, tidak hanya pada pusat kekuasaan saja. Tetapi harus merata di dearah atau pelosok negeri ini. Budaya lokal harus dijadikan aset berharga bagi informasi kepustakaan sekaligus kemandirian pemerintah daerah dalam meningkatkan kepedulian dan wawasan masyarakat setempat akan film. Tataran Sunda mengawalinya dengan film lokal pertama di tahun1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng mengambil shooting di lokasi Padalarang dan diproduksi NV Java Film. Diperankan oleh anak bupati Bandung, lalu diputar di bioskop Majestic, yang sampai sekarang masih berdiri. Setahun kemudian diikuti film Eulis Atjih (Poetri Jang Tjantik dari Bandoeng), diputar di Bandung pada Agustus 1927. Sedangkan film kontemporer, budaya minang diangkat Riri Riza dalam film Eliana Eliana, Opera Jawa oleh Garin Nugroho.

Penyusunan atau daftar katalog film Indonesia yang diperoleh dari riset dan penelitian masih mendapat kendala dan belum ‘membumi’. Masih dalam tarap menempatan posisi atau eksistensi sebagai penyelamatan film nasional. Pandangan melihat penelitian sebagai kurang menguntungkan secara financial. Akhirnya kesenjangan informasi secara akurat dan detail sejarah film nasional sangat minim. Sangatlah wajar dan mendesak segera mengembangkan lembaga riset & penelitian film Indonesia sebagai bagian dari pelestarian karya seni layar lebar. Bisa dibuktikan sedikit tulisan ilmiah atau literatur secara sistematis sebagai sebuah buku, majalah, dan media lainya mengenai film Indonesia.Tengok saja di rak-rak toko buku apakah mudah mendapatkan informasi film?. Sudah saatnya pergerakan yang sifatnya melestarikan dan melembagakan segala informasi harus digalakan dan didukung oleh semua pihak. Agar kesalahan atau dosa sejarah tidak terulang lagi.

Membuka lembaran halaman buku lawas ibaratnya melihat sejarah film zaman dulu di jaman ini gampang-gampang susah. Mencari barang yang usang hanya mampir di museum-museum sejarah untuk menjaga kerusakan yang fatal. Boleh jadi itu hanya menjadi kenangan orang tua kita belaka. Begitulah kenyataan bila mencari karya-karya terdahulu dari para maestro sineas Indonesia. Bisa dikatakan alasan dengan mudah, bahwa teknologi dahulu berbeda format dengan sekarang. Bayangkan untuk merawat film perlu ruang penyimpanan film, bertemperatur 5 – 7 derajat Celcius dengan kelembaban 45% – 60% RH. Dalam kondisi ini film bisa dilestarikan sampai sekitar 50 tahun untuk film berwarna, 100 tahun untuk film hitam putih. Untuk bisa mempertahankan film berwarna hingga berusia 100 tahun temperaturnya harus 0 derajat Celcius dengan kelembaban ruang sekitar 40% RH. Cool storage serupa itu ‘impiannya’ akan dibangun di luar kota yang memiliki temperatur tidak sepanas Jakarta. Itu untuk menyimpan film arsip. Sedang ditempat yang sekarang hanya untuk menyimpan copy putar (screening copy).

Penggunaan program komputerisasi sebagai database katalog koleksi film, buku dan dokumentasi. Dengan adanya program ini diharapkan pengunjung mempermudah mencari data/informasi yang diperlukan. Dalam sistim dokumentasi dewasa ini orang dengan mudah menggandakan sebuah film dalam hitungan detik dalam sebuah compact disk ditambah dengan kapasitas VCD (700 MB), DVD (4,2 GB), dan teknologi DVD Blue-Ray (25 GB) bisa menyimpan sepuluh film.

Peran Serta Komunitas Masyarakat

Pandangan apresiasi masyarakat sangatlah beragam terhadap film. Sangatlah mudah dijawab karena tingkat pendidikan, dikutip dari Riri Reza dalam suatu wawancara dengan sebuah majalah. Sangatlah wajar bila masyarakat masih meminati film tertentu butuh edukasi waktu yang panjang dan melelahkan. Setidaknya perlu adanya pendekatan persuasif dari berbagai elemen masyarakat, budayawan, insan-insan perfilman, pemerintah serta lembaga-lembaga terkait. Pelatihan-pelatihan atau couching clinic ke sekitar kampus dan sekolah, pernyelenggaraan Jiffest, Ganesha Film festival merupakan bagian pijakan yang benar kearah meleknya masyarakat terhadap bagaiman proses pembuatan film, seni peran, sinematogafi berserta unsur apresiasi dunia film.

Peran masyarakat mempunyai hak yang sama untuk ikut berperan serta dalam memelihara, mengembangkan, memajukan dan mengawasi perfilman Indonesia. Pernyataan publik berupa kebijakan demi keberlangsungan dan kemajuan perjalanan film ke depan lebih cerah, sense belonging bergerak menuju keselarasan dengan tentunya tidak untuk mematikan daya kreatifitas anak-anak bangsa ini dalam berkarya menciptakan demi keharmonisan keselarasan bangsa ini dengan haus ‘ spriritualistis’.

Hal ini di tunjang dengan meleknya rakyat Indonesia terhadap information technology kemudian bermunculan forum atau komunitas film independent menjamur, ada sekitar delapan puluh komunitas film tersebar di dunia maya. Sebut saja komunitas ini tersebar di berbagai kota seperti filmalternatif.org, rumahfilm.org, jiffest.org, masyarakatfilmindonesia. wordpress.com, dan masih banyak lagi. Hebatnya lagi sebagian komunitas film ( kineruku, kinoki, arisan forum) menerbitkan jurnal untuk mengkaji dan mengangkat tema-tema masalah film Indonesia.

Tidak hanya itu saja, terjun aktif dalam kegiatan kampanye atau slogan dalam memajukan citra film di seluruh pelosok, yang masih terakumulasi di perkotaan besar saja dewasa ini. Komunitas-komunitas secara independen mengadakan diskusi-diskusi aktif mengenai isu-isu film Indonesia. Hal ini berkat kemajuan teknologi Informasi sehingga masyarakat di manapun bisa mengakses informasi dengan dialog interaktif yang melekatkan antara mayarakat awam, penikmat film, dan para insan perfilman. Timbal balik ini setidaknya memperkuat dan menjawab permasalahan atau problematik seputar film Indonesia.

Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film bangsa ini. Produksi film menjadi sangat mudah dan cepat dengan teknologi kamera video digital ditambah dengan kapasitas komputer semakin besar sehingga leluasa beranimasi. Membuka keran selebar-lebarnya bagi amatiran, profesional dalam membuat film. Banyak cerita pendek di ungkap hanya menggunakan camera digital dan HP yang kemudian di upload di internet sehingga bisa dinikmati secara luas.

Perlu proses yang panjang dengan waktu, kesabaran, keringat dari kebiasaan masyarakat menonton yang kurang mendidik ke tema-tema atau polemik yang ada disekitar masyarakat. Sehingga mereka memandang dengan optimistik hidup, toleran, dan berbagi sesama. Bangsa ini telah lama menderita ditambah dengan tayangan yang kurang mendukung cara pandang bahkan terkadang menjual mimpi, di harapkan mampu menonjolkan sisi positif bangsa yang terhormat dengan semangat kebanggan nasionalismne untuk mencintai bangsa sendiri. Citra melekat selama ini mampu dikikis lewat film yang mampu menggugah, inspiratif dengan cara penyajian cerita yang sederhana dan mudah dipahami.

Kampus sebagai wadah akedemisi sekaligus menjadi jembatan interaksi komunikasi antara praktisi dan lembaga perfilman pemerintah, dan masyarakat untuk saling berbagi pengetahuan, workshop, dan ajang apresiasi bisa diberi tempat yang layak didukung. Seperti Ganesha festival film di ITB yang menyelenggaran acara tahunan. Animo publik terutama mahasiswa terbentuknya forum komunitas apresiasi film banyak menambah perbendaharaan dalam urun rembuk problematika film Indonesia. Terkadang kritikan mereka sangat tajam dan lugas. Ini menunjukan bahwa awarenes dunia pendidikan masih eksis dan cenderung independent. Pergulatan pemikiran akademisi tentu banyak menyentuh masalah kebijakan dan peraturan perfilman. Di dasari kepedulian dan keprihatinan besar untuk masa depan sinema negeri ini.

Selektifitas atas tontonan bermutu dan mendokumentasikan adalah bagian dari pelestarian budaya bangsa. Definisi tontonan bermutu bermaksud pada film yang memiliki karakter, nilai, pandangan, ajakan, dan informasi sekaligus hiburan, bukan film sebaliknya. Tipe film ini yang pantas mendapatkan apresiasi setinggi. Meskipun pada pada faktanya tidak setiap film bermutu memiliki daya jual, boleh jadi idelisme bukan komersialisme.

Untuk menyajikan film yang bermutu, workshop merupakan edukasi pengetahuan para sineas muda dalam berkarya sebagai penunjang sebuah kaidah standar film. Christine Hakim berucap dalam sebuah workshop di Bali “Saya berharap akan muncul sutradara berbakat dari aktivitas ini,”. Workshop ini bertujuan mempersiapkan film yang mengangkat isu-isu lingkungan. Tak pelak lagi global warming ikut mewarnai perjalanan film di dunia. Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat sendiri mengkampayekan ajakan kesadaran terhadap kutub utara yang mengalami pencairan es secara tajam. Tingginya keprihatinan terhadap perusakan alam, membawa dia mendapat hadiah Nobel.

Apresiasi Film Indonesia

Layaknya sebuah karya seni tentu tidak lepas dari subjektitifas si empunya. Garin Nugroho pernah mengatakan bahwa “ nilai sebuah karya berdasarkan pretensi pembuat”. Ini tidak bisa dikatakan bahwa idealisme seseorang termuat atau secara eksplisit dalam media karya film beliau. Seperti dimuat dalam sebuah wawancara di majalah ibukota, sewaktu kecil beliau suka membayangkan dirinya dalam sebuah peran. Bahkan secara jelas dia termasuk orang soliter dan keras hati. Terkadang pemikiran yang berbeda tentunya tidak lantas sebagai hal yang dilarang tetapi harus dijadikan sebagai bahan perbandingan kritis. Wacana alam diskusi dewasa ini telah membuka pintu pemikiran lebih terbuka dan tidak memaksakan kehendak. Sehingga sebuah karya film tidak serta menjadikan pandangan utama, tetapi dipandangan sebagai sifat perbandingan, pendidikan, kritik, toleransi, dan alternative solusi, keterbukaan. Inilah secara sederhana disebut dengan “ apresiasi “.

Sebuah alur cerita film tidak berbeda dengan tulisan yang menggambarkan alam pemikiran si penulis memberikan ruang interaksi apresiatif yang positif terhadap suatu karya film. Sehingga wacana pembaharuan dan pencerahan bisa berlangsung bagi perfilman di Negara ini. Arifin Chairin Noer menyabet penulis skenario terbaik di festival film Asia 1972 dalam film Pemberang, juga mengatakan hal serupa yaitu “film sebagai media ekspresi pada saya “. Dilihat perjalan karirnya melalui teater kecil sebagai wadah ekspresi jiwa yang mengangkat protes sosial mengenai pelacuran, orang-orang terpinggirkan, pencopet, manusia-manusia kolong, disamping latar belakang orang yang taat pada agama. Taufiq Ismail pernah berkata usai pembacaan syair “ Arifin adalah pembela kaum miskin” hal ini dipertegas dengan pernyataan Arifin sendiri bahwa “ Saya hidup di dunia kelam dekat dengan kejelataan dan musik dangdut”.

Latar belakang dan pengalaman hidup telah mengajarakan pendidikan alami dan menempa paradigma menjadi nilai karya seseorang berdasarkan pretensi pembuat begitu ulang Garin. Corak, warna, gaya penuturan, setting, nilai-nilai universal akan menjadikan trade mark atau kekhasan seseorang. Teguh karya merupakan sosok pribadi yang teguh baik dalam dalam mengarahkan aktor/aktris dengan penuh disiplin dan kosistensi ketegasan. Hal ini diamini oleh Presiden Soekarno bahwa teguh karya si ‘sang kaisar’ menjadi simbol keteguhan dalam berkarya.

Mereka adalah orang yang masih memegang idealisme dan independensi serta kecintaan mendalam terhadap pelestarian kehidupan perfilm Indonesia.Contoh teladan hidup dan masterpiece di zamannya adalah tokoh-tokoh seperti Sjuman djaya, Christine Hakim, Asrul Sani, Usmar Ismail, Arifin C Noer, Dedi Mizwar, Garin Nugroho.

Sekarang ini para sineas cenderung membuat film dengan mengangkat realita-realita sosial, karena tentu saja permasalahan dan sudut pandang yang berbeda, meskipun hal ini tak selamanya benar. Penonton sekarang diajak untuk melihat sesuatu secara membumi tidak menjual khalayan dan mimpi bak sinetron. Film-film yang seperti ini jelas melawan arus dari segi keuntungan tetapi haruslah mendapat apresiasi dari “masyarakat yang masih belum terdidik tadi”. Lembaga perfilman pemerintah harus secara aktif memberikan ruang gerak yang lebih dengan memberikan kemudahan dan apresiasi yang setinggi-tinggi kepada film jenis ini. Boleh dikatakan sebuah ‘keberpihakan’ demi dan sekaligus mengarahkan penonton yang berkualitas dan tontonan yang berbobot tentunya.

Sungguh banyak bahwa penunjukan ‘jiwa’ film negeri telah mengalami era-era yang tentu saja banyak peralihan peradaban dari motif baik skala kecil menjadi besar. Fluktuasi budaya film tidak terlepas dari latar belakang peta politik dan sosial kemasyarakatan dewasa itu. Ini tentunya tidak merupakan acuan utama tetapi lebih sebagai pemicu bagi produser dalam kerangka usaha membentuk citra di mayarakat. Banyak film pada zamannya mewakili gambaran dirinya. Film era di tahun 1960-1980 bertemakan sejarah Janur Kuning dan Serangan 11 Maret merupakan representatif pemerintah orde baru dalam posisi sebagai citra pahlawan mengusir penjajah. Pesan dan nilai perjuangan ditanamkan sejak sekolah dasar. Masih dalam ingatan bahwa setiap tanggal 11 maret tiap-tiap sekolah dijawibkan menonton film tersebut.

Corak warna film mewarnai rantai cerita kisah dari masa ke masa, tidak lepas dari kondisi setempat yang mempengaruhinya. Bisa itu budaya, keyakinan, isu-isu yang berkembang dan hangat ketika itu. Tinggal para produser, sutradara, industri film mengolahnya sebuah pasar yang menjanjikan sekaligus menggugah akal, pikiran , dan nurani. Kepekaan-kepekaan lingkungan akan masalah yang berkembang akan menarik inspirasi dalam pembuatan film. Sesungguhnya banyak celah yang bisa diindahkan dalam pelestarian film dari segi dokumentasi sejarahnya mulai dari teknologi kamera konvensional sampai terbaru. Disitu bisa kita lihat pemanfaat dan kelebihan serta kekurangan yang berimbas kepada effisiensi, biaya produksi, waktu dan hasil produk. Walaupun tentunya tidak bisa tidak ini menjadi gambaran bagaimana pembuatan film dahulu akan sangat berbeda dengan penggarapan zaman sekarang.

Segmen film yang ditawarkan di negeri mulai beragam, tidak lagi menjadi monopoli film dewasa atau horor. Suatu loncatan dari para produser film memberikan banyak warna pilihan mulai dari film anak-anak ( Petualangan Sherina ), sejarah biograpi ( Soe Hoek Gie ), film nasionalisme-kepahlawan ( Naga Bonar Jadi Dua), situasi komedi ( X large ) dan banyak lagi. Boleh dikatakan sebenarnya perfilman negeri ini sudah pada track yang benar. Mudahan-mudahan tidak sekedar meraup keuntungan tetapi ada nilai atau pesan yang diangkat.
Pemberdayaan film sudah bergeser dengan munculnya peran serta pihak luar pagar yang besar seperti partisan non pemerintahan. Penghargaan diberikan kepada pihak insan pekerja seni tanah air setidaknya memberikan angin segar meningkatnya kreativitas anak muda dewasa ini untuk berkarya. Keikutsertaan mereka bisa membantu kekurangan masalah dana untuk lebih menggairahkan peta perfilman.

Persinggungan panggung film dengan ranah sosial, budaya masyararakat Indonesia terbilang sangat kuat. Bagaimana tidak, sekarang banyak film-film beredar diangkat dari kisah nyata terbilang film Gie (2005) seorang aktivis mahasiswa keturunan yang idealis bernama Soe Hok Gie, Eliana-Eliana (2002) dilatarbelakangi masalah sosial poligami, sampai Hantu Ambulan dari cerita sebuah mobil ambulan di Bandung yang mempunyai muatan cerita mistis, Ayat-Ayat Cinta (2008) yang diambil dari novel laris bernafaskan religi dan masih banyak lagi.

Tentunya ini merupakan himpunan dari upaya dan strategi menarik minat penonton. Tarik menarik materi cerita yang menjadi insipirasi para produksi film sangat tergantung dari idealisme, paradigma, sampai nilai komersil. Tentu sah-sah saja alasan apapun, ini menjadi banyak pilihan penonton untuk memilih alternatif yang beragam. Yang jelas dewasa ini telah membawa angin segar bagi perfilman di Indonesia. Tumbuh dengan subur para sineas-sineas muda, teknologi kamera video digital, serta dukungan iklan dan sponsor ditambah minat penonton menjadi tuan di negerinya sendiri.

Kritik Film Nasional

Genre film tertentu yang terlalu dominan dewasa ini sekaligus tidak membawa pesan yang membangun sebaiknya di kurangi dengan ajakan-ajakan edukatif. Menggiring tontonan seperti ini tentu perlu pendekatan yang serius dan membumi. Janganlah ditambah atau dipersulit bangsa ini dengan nilai-nilai yang kurang mumpuni, bawalah alam pemikiran mereka kepada sikap-sikap positif. Setidaknya film sendiri menjadi alat bantu pemerintah untuk mamajukan pendidikan mental dan spiritual tidak hanya melalui formal atau agama.

Dinamika film Indonesia adalah perubahan. Sifat menutup diri dari kritik, perundangan yang sudah usang, peraturan yang statis tidak fleksible harus senantiasa mengalami revisi seiring dengan perubahan yang cepat. Ada pepatah bijak mengatakan “ Bersiap-siaplah di telan jaman jika kita tidak dinamis”. Sikap-sikap seperti inilah harus menjadi referensi bagi seluruh elemen perfilman negeri ini.

Janganlah sejarah polemik insan film dengan pemerintah atau badan/lembaga terkait menjadikan kemunduran film bangsa ini. Biarlah waktu yang menentukan dan biarlah itu menjadi pendewasaan pemikiran. Harapan kedepan akan cerahnya film Indonesia masih terbuka lebar. Sumber daya manusia tidak pernah kering di negeri ini hanya penanganan dan sistim yang benar akan menumbuhkan harapan-harapan baru.

FFI dan penghargaan merupakat apresiasi tertinggi di dunia film Indonesia. Pertama kali diadakan di tahun 1955 dan Piala citra sebagai puncak kebanggaan para insan film di kancah yang paling bergensi di negari ini. Faktanya banyak kegelisahan dan kemelut dalam kinerja sistim di tubuh FFI masih mengundang polemik bahkan sampai dewasa ini. Terakhir film Ekskul di nobatkan sebagai peraih film kategori terbaik. Kontan banyak terkejut, para sineas muda mempertanyakan sistim penjurian. Mirip ketika generasi Usmar Ismail yang kala itu karyanya berjudul Lewat Djam Tengah Malam tidak meraih penghargaan kategori Sutradara terbaik.

Film ini dianggap ‘menggangu’ karena sifatnya mengkritik pemerintahan yang korup pasca perang revolusi. Karena banyak pengetatan aturan serta monopoli pada zaman orde baru. Pembungkaman corong politik sangat tabu diangkat ke layar lebar. Sehingga mematikan daya kreativitas, serta pemasungan berbicara di ranah tersebut sangat dilarang. Mungkin banyak film-film independen bawah tanah masih eksis tetapi tidak nampak ke permukaan. Sungguh tragis nasib film kita dewasa itu. Disamping atmosfir waktu itu tidak banyak membantu mencipta karya layar perak. Hanya sebagian film yang mendukung pemerintah atau tidak menyinggung hal sensitif.

Kemudian kurang harmonisnya para insan film dengan badan/lembaga perfilman nasional seperti BP2N, Lembaga Sensor Film (LSF) yang semuanya bemuara pada UU no 8 tahun 1992. Banyak persoalan-persoalan mengemuka ke publik mulai dari sistim kinerja FFI, pemotongan scene film. Mungkin banyak kepentingan turut campur dan terlibat sangat jauh. Sejauh ini memang terdapat tarik ulur secara policy, dan tampaknya titik temu masih jauh dari harapan. Barangkali semua masalah yang meliputi negeri perlu waktu, energi, dan biaya untuk tahap kemapanan dan stabil. Tetapi kadang timing yang tidak tepat. Minimal harus ada moral tanggung jawab terhdap kelangsungan perfilam Indonesia dengan tidak di tunggangi muatan politis.

Sudah saatnya lupakan permasalahan rumit nan pelik tadi. Masih banyak contoh bahwa tanpa atau dengan itu banyak potensi yang masih di kembangakan tanpa perlu melibatkatkan diri dalam permasalah di lihat dari segi masyrakat awam. Karena pergeseran baik berupa nilai, estetika, dan pandangan yang dinamis, tentu kebijakannya harus memberikan ruang dialog yang lebih luas demi kemajuan film tanah air. Bahkan boleh jadi ukuran-ukuran apresiasi film sangatlah subjektif. Apakah itu FFI, JIFFEST, FFJ atau penghargaan-penghargaan baik dari instansi pemerintah maupun non pemerintah secara independen, toh pada akhirnya masyarakatlah yang memilih tergantung pada tingkat kedewasaan pemahaman mereka terhadap film.

Masih hangat permasalahan undang-undang media pers sempat menjadi polemik nasional. Anggota legislatif dan komisi penyiaran harus merevisi setelah adanya masukan dari media cetak dan televisi. Gesekan perbedaan paling sering mengemuka adalah masalah batasan mengenai wilayah eksistensi dari ekspresi kebebasan . Sering kali benturan dengan lembaga sensor baik itu dari media pers maupun film. Penulis sekaligus sutradara Asrul Sani di tahun 1992 pernah mengatakan bahwa lembaga sensor sudah saatnya ‘ diperbaharui’ karena sudah tidak bisa menampung masalah perkembangan intelektual yang semakin kompleks. Beliau memberikan alternatif solusi dengan memberikan sepenuhnya kedalam bentuk diskusi atau dialog secara demokrasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah, insan film, media, pembuat dan distributor bersama-sama ikut bertanggung jawab dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan film.

Seandainya RUU perfilman seperti yang telah dikemukakan diatas perlu adanya penyempurnaan, kenapa tidak. Tentunya dengan revisi akan mempermudahan penyelenggaraan bukan menambah masalah baru.

Sesungguhnya, secara legal dan badan, lembaga, asosiasi, dan unsur-unsur terkait dalam kecintaan mewarisi dan melindungan harta hasil karya-karya seni anak bangsa, ini telah memberikan payung hukum. Seiring dengan perkembangan dinamika jaman yang semakin banyak menimbulkan masalah dan tafsiran-tafsiran baru, harus senantiasa melakukan perubahan, penyempurnaan, bahkan membuat peraturan baru demi melindungi hak-hak dan kewajiban setiap perorangan, organisasi, lembaga, industri film dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di Bab 2 pasal 2 dalam asas, visi, misi, dan fungsi bahwa Penghormatan atas hak dan kewajiban serta kepastian dan persamaan hukum.

Tim perumus yang terdiri himpunan perfilman terkait, sewajarnya merevisi pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Dengan fleksibilitas RUU perfilman secara aktif melakukan adaptasi setiap perubahan akan lebih memberikan harapan cerah ke arah pertumbuhan yang sehat dan dinamis. Revisi-revisi dan penambahan fasal merupakan bagian upaya pelestarian film kita sebab sama saja dengan menjaga keberlangsungan karya seni dan budaya bangsa. Melindungi tindakan monopoli, memberikan ruang kebebasan berekspresi, memberikan jaminan hukum, memberikan batasan, wilayah yang jelas dalam kerangka pelaksanaanya.

Tidak lupa pula, peran serta pemerintah dalam mensuburkan iklim perfilman di tanah air. Dengan tidak menghambat daya kreativitas, memberikan rambu-rambu peraturan dalm mempermudah proses perijinan pembuatan film artinya prosedure tidak berbelit-belit. Tidak mempolitisir kebijakan undang-undang perfilman seperti UU no 8 tahun 1992. Biarlah perkembangan film berjalan secara sehat, kompetitif dan independent. Tim perumus harus mengadopsi semua kepentingan dalam penyusun draft RUU perfilman. Mereka dari organisasi yang berkecimpung di dunia film seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Karyawan Film dan Televisi (KFT), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI), Persatuan Perusahaan Film Keliling Indonesia (PERFIKI), Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (ASTREVI) dan organisasi profesi perfilman lain. Bila ini berjalan secara sinergi maka tentunya pendapatan pemerintah dari film ini akan menambah devisa negera. Sekaligus adanya pengontrolan dari hasil pajak yang harus di gunakan untuk perkembangan film nasional.

Film,,,

•November 3, 2010 • Leave a Comment

Top of Form

 

Artikel Entertainment Weekly tentang film The Last Airbender

oleh The Last Airbender Indonesia pada 17 April 2010 jam 1:15

Sutradara M. Night Shyamalan memiliki bakat supranatural dalam memilih peran untuk anak-anak. Dia dapat menyihir penampilan mereka menjadi terasa nyata, seperti anak-anak yang melihat orang-orang mati, atau mendengar alien di atas atap.

Film terbarunya, The Last Airbender, tidak seperti film-film yang pernah ia sutradarai. Film ini bukan sebuah film thriller mengerikan dengan twist ending, tetapi film fantasi-epik yang (mudah-mudahan) menjadi bagian pertama dari trilogi. Namun demikian, The Last Airbender memiliki warna spiritual, seperti The Sixth Sense, Signs, dan semua film Shyamalan yang pernah ia buat. Dan apabila film ini berhasil, itu semua berkat pemain-pemain mudanya yang melakukan banyak adegan berat: melakukan beberapa seni bela diri yang rumit; berperang di pertempuran di mana udara, air, bumi, dan api adalah senjata; dan menyelamatkan dunia dari kejahatan.

Seperti yang dikatakan Shyamalan mengenai bintangnya, pendatang baru Noah Ringer, “Tidak mudah untuk anak 12 tahun membawakan sebuah film laga.” Shyamalan mengadaptasi dari kartun animasi Nickelodeon, Avatar: The Last Airbender (dia harus menghilangkan bagian pertama dari judul – karena orang lain telah menggunakannya). Ringer memerankan Aang, yang harus menyatukan negara Udara, Air, dan Bumi untuk melawan serangan Raja Api. Aang dibantu oleh seorang gadis yang bersemangat, Katara (Nicola Peltz) dan kakaknya, Sokka (Twilight’sJackson Rathbone), dan diburu oleh Pangeran Api yang terbuang, Zuko (Slumdog Millionaire’s Dev Patel).

Tahun lalu, di lokasi syuting, Shyamalan tampak gembira (“Bahwa mereka akan memberi saya kesempatan untuk membuat film dengan beragam etnik, memiliki pengaruh Buddha, dan merupakan tentpole musim panas – itu sulit dipercaya!”) dan sekaligus gelisah (“Ya, aku gelisah. Aku takut setengah mati, mungkin ini merupakan tantangan sebagai sutradara, aku pikir..”). Sekarang setelah film ini hampir selesai, dia kembali ke diri lamanya yang ceria: “Saya tahu ini akan terdengar sangat bias karena datang dari saya, jadi jangan ambil ini mentah-mentah – tapi ini adalah film saya yang terbaik.”

Shyamalan mengandalkan para pemain muda untuk film ini.Tentang Peltz, 15 tahun, Shyamalan berkata, “Aku mungkin seorang direktur yang parah dalam menyutradarainya karena dia sendiri sudah sangat menakjubkan.” Dan tentang Ringer, sekarang 13 tahun: “Dia peduli dengan keadilan dan hak asasi manusia – dia benar-benar tidak mampu menyakiti manusia lain.” Tapi saat kejahatan sedang berlangsung? “Dia seniman bela diri yang brilian dan dia siap untuk melawan kejahatan.”

terjemahan dengan sedikit perubahan
——————————————————————————————————————-

Entertainment Weekly features a Summer Movie Preview of 2010 The Last Airbender

The director M. Night Shyamalan has a supernatural knack for casting kids. He coaxes performances that feel real, even as the kids in question see dead people, or hear aliens on the roof.

His latest, The Last Airbender, is unlike anything he’s ever directed. It’s not an unnerving thriller with a twist ending, but an epic fantasy and (hopefully) the first part of a trilogy. Still, The Last Airbender has a spiritual tint, just as The Sixth Sense, Signs, and all Shyamalan’s movies do. And if the film works, it’ll be because its young cast does a lot of heavy lifting: busting out some tricky martial arts; fighting in battles where air, water, earth, and fire are weapons; and delivering us from evil, amen.

As Shyamalan says of his star, newcomer Noah Ringer, “It’s very difficult for a 12-year-old to carry an action movie.” Shyamalan adapted the film from Nickelodeon’s animated show Avatar: The Last Airbender. (He had to drop the first part of the title–seems someone else is using it.) Ringer plays Aang, who must unite the Air, Water, and Earth nations against the genocidal Fire Lord. Aang is aided by a spirited girl (Nicola Peltz) and her brother (Twilight’sJackson Rathbone), and hunted by a disgraced Fire Prince (Slumdog Millionaire’s Dev Patel).

Last year, on the set, Shyamalan seemed both elated (“That they’d let me make such a diverse, Buddhist, tentpole summer–it’s unbelievable!”) and jittery (“Yes, I’m nervous. I’m scared to death, which is a prerequisite for being a director, I think”). Now that the film is nearly finished, he’s back to his old upbeat self: “Look, it’s gonna sound so biased coming from me, so take it with a grain of salt–but it’s my best movie.”

Shyamalan credits the young cast for the film’s heart. Of Peltz, who’s 15, Shyamalan says, “I’m probably a poor director to direct her because I think she’s just amazing.” And as for Ringer, now 13: “He cares about justice and human rights–he’s literally incapable of hurting another human being.” But when evil is on the march? “He’s a brilliant martial artist and he’s ready to fight.”

diikutip asli dari sumbernya

Top of Form

 

Fiesta…

•November 3, 2010 • Leave a Comment

Vest Fiesta

 

   

Rompi atau vest adalah salah satu elemen busana yang wajib Anda miliki. Bisa menciptakan gaya yang variatif sekaligus menyamarkan bentuk tubuh tak ideal.

A. Di antara aneka model rompi yang sedang in saat ini, pilihan rompi model klasik tetap digemari. Selain cocok dipadukan dengan setelan blazer formal, rompi gaya ini juga bisa tampil modern tumpuk yang dinamis. Selipkan unsur aksesori yang berkesan main-main, seperti kalung warna-warni untuk mempertegas sisi genit Anda.

B. Dengan rompi, Anda bisa tampil feminin, maskulin, atau bergaya preppy yang chic. Misalnya saja, rompi dari bahan rajut yang berkesan konservatif dipadukan dengan turtleneck dan rok lebar.

 

Trendi Gaya kini,,,,

•November 3, 2010 • Leave a Comment

Mau Trendi? Pakai ‘Baggy’ Aja!

 

 


KapanLagi.com – Masih ingat dengan celanabaggy? Celana yang sempat ngetren dua dekade lalu ini akhirnya kembali menjadi tren saat ini. Celana dengan potongan lebar di paha dan agak menyempit di bagian bawah ini memang cocok untuk membuat kita tampil lebih trendi.

Celana baggy akan tampak keren jika kita bisa memadupadankannya dengan tepat. Pastikan saja celana baggy yang kita pakai tidak terlalu menggembung di bagian paha. Pasalnya, gayaeighties yang ngetren adalah gaya yang tetap terlihat modern.

Baggy yang terlihat ngetren adalah baggy yang jatuhnya pas di paha dan kaki tanpa terlihat kedodoran.

Efek celana baggy yang membesar di bagian paha akan makin keren jika kita memadukannya dengan atasan pas badan agar tidak membuat badan kita terkesan tenggelam. Anda bebas memilih kardigan,tank top, kaos pas badan, atau kemeja.

Untuk yang berpaha besar, celana baggy memang bisa jadi solusi berbusana yang tepat. Jika celana ini agak panjang, Anda bisa menggulungnya sedikit.

Gaya berpakaian akan lebih bergaya jika kita melengkapinya dengan aksesori. Coba saja gunakan ikat pinggang atau vest. Dengan begitu, penampilan kita nggak akan terlihat kuno alias lebih modern. Lengkapi dengan flat shoes, maka Anda siap menunjukkan gaya berpakaian trendi Anda. Tiru saja gaya Katie Holmes yang cantik ini. (kpl/cc/npy)

 

Fashion….

•November 3, 2010 • Leave a Comment

everybody wears hoodie

Hoodie adalah t-shirt, sweatshirt, atau jaket yang memiliki penutup kepala dan bagian depannya bisa dibuka tutup menggunakan kancing atau retsleting. Hoodie merupakan sebuah elemen fashion yang dianut oleh beberapa sub culture seperti goth, punk, emo, grunge, dan hip hop.

 

Fungsi utama hoodie sebenarnya untuk memberikan suhu hangat pada badan. Namun belakangan ini hoodie sudah berubah fungsi menjadi fashion. Di Jakarta sendiri kita sangat sering menemukan anak muda yang memakai hoodie tak peduli bagaimana panasnya suhu ibu kota.

 

Menurut Angela McRobbie, profesor bidang Komunikasi pada Goldsmith College, citra yang ditampilkan oleh hoodie adalah anonimitas, misteri, dan kegelisahan. Kultur rap dan hip hop yang didominasi oleh orang kulit hitam banyak menggunakan hoodie sebagai bentuk pemberontakan mereka terhadap eksklusifitas kulit putih.

 

Di Inggris, fashion hoodie bahkan pernah mengalami pencitraan yang tidak baik hoodie sering dipakai para perampok toko, dan maling untuk menutupi kepala dan wajah mereka agar tidak terlihat oleh CCTV. Selain itu  hoodie juga dianggap identik dengan anti-sosial.

 

Namun semua image jelek tersebut sudah hilang sehingga kita tidak perlu ragu lagi untuk memakai hoodie.

 

Hello world!

•September 23, 2010 • 1 Comment

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!